Latest News

Video Wanita yang di telanjangi di Cikupa


Institute for Criminal Juicetice Reform (ICJR) mengecam tindakan main hakim sendiri yang dikerjakan warga Cikupa, Kabupaten Tangerang dengan mengarak serta menelanjangi pasangan yang mereka tuduh melakukan perbuatan mesum. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, tindakan itu brutal serta pantas diganjar dengan pidana berlapis.

" Apa yang dikerjakan oleh warga Cikupa itu sudah tidak mematuhi hak atas privacy pasangan yang berkaitan, serta dikerjakan tanpa ada hak serta wewenang apa pun. Walau sebenarnya di ketahui tak ada perbuatan apa pun berkaitan dengan kesusilaan yang dikerjakan oleh pasangan itu, " tutur Maidina dalam info tertulisnya, Selasa (14/11/2017).

Menurut Maidina, aksi warga yang main hakim sendiri atau persekusi itu bisa diganjar dengan tindak pidana kesusilaan dimuka umum sesuai sama Pasal 282 ayat (1) KUHP serta Pasal 35 UU Pornografi mengenai jadikan orang yang lain objek atau jenis yang bermuatan pornografi. Sayangnya, aplikasi ke-2 pasal itu punya potensi menyerang balik korban.

Maidina menilainya kenyataan itu harusnya jadi pertimbangan pemerintah serta DPR yang tengah mengulas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) di Parlemen. Sebagian pasal dalam RKUHP, khsusunya tentang tindak pidana kesusilaan, kata kata Maidina, malah buka peluang main hakim sendiri oleh warga.
" Pertama, ketetapan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengatur pelebaran azas legalitas hukum pidana Indonesia di mana dalam pasal ini hukum yang hidup di orang-orang menetukan bisa/tidaknya seorang dipidana, hal semacam ini terang menyebabkan celah hukum yang begitu multi tafsir serta melahirkan potensi terjadinya tindak pidana main hakim sendiri, " tuturnya.

Maidina menyebutkan etika hukum pidana mesti tertulis (lex scripta), mesti ditafsirkan seperti apa yang di baca (lex stricta) serta tidak multitafsir (lex certa). Mengakomodir hukum yang hidup di orang-orang yang sifatnya begitu dinamis, subjektif, serta begitu tergantung pada rencana sebagian besar dengan terang juga akan melahirkan etika hukum yg tidak terang yang tidak mematuhi peranan hukum pidana tersebut membuat perlindungan orang-orang dari aksi sewenang-wenang negara.

Ke-2, ketetapan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP mendefinisikan luas tentang tindak pidana zina. Zina disimpulkan termasuk juga di dalamnya persetubuhan pada lelaki serta wanita yang semasing tidak terikat dalam perkawinan yang sah. Dalam Pasal 484 ayat (2) diterangkan kalau tindak pidana ini bisa dituntut bila ada pengaduan dari suami, istri atau pihak ke-3 yang tercemar.

" Lagi-lagi ketetapan ini malah mendatangkan potensi main hakim sendiri karna ada 'pihak ke-3 yang tercemar' diijinkan untuk lakukan penuntutan.. Unsur ini begitu multitafsir serta tak ada keterangan khusus tentang “pihak ke-3 yang tercemar”, " tutur Maidina.

Menurut Maidina, unsur “persetubuhan pada laki serta wanita yang semasing tidak terikat dalam perkawinan yang sah” rawan disalahgunakan.

Ketetapan Pasal 484 ayat (1) huruf e yang cuma berikan batas terjadinya persetubuhan dengan mungkin malah bisa mengarah korban-korban perkosaan dengan pembuktian yang cukup susah. Aparat penegak hukum lalu memakai ketetapan pasal ini yang mana mereka tidaklah perlu menunjukkan ada kekerasan atau ancaman kekerasan hingga relatif lebih gampang pembuktiannya serta lalu punya potensi mengkriminalisasi korban.

Baca juga : Prediksi Mainz Vs Koln 18 November 2017

Ke-3, ketetapan Pasal 488 RKUHP yang mengkriminalisasi “melakukan hidup dengan jadi suami istri diluar perkawinan yang sah”.

Maidina menilainya Ketetapan Pasal ini rawan menyebabkan terjadinya persekusi oleh orang-orang sekitaran karna tidak tuturnya ketentuan yang disebut.

Dalam pasal itu dimuat ketetapan tentang “perkawinan yang sah” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 1 th. 1974 mengenai Perkawinan disadari kalau perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dikerjakan berdasar pada agama. Hanya satu penyusunan yang mengatakan agama-agama yang disadari adalah UU No 1/PNPS/1965 mengenai Mencegah Penyalahgunaan serta/atau Penodaan Agama pada keterangan Pasal 1 dijelaskan ada 6 agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha serta khong Cu (Confusius).

" UU ini sesungguhnya mengakomodir agama terkecuali ke-6 agama yang dijelaskan, tetapi pada praktiknya administrasi pencatatan perkawinan cuma ada untuk ke-6 agama itu, aliran agama serta penghayat keyakinan beda susah untuk lakukan pencatatan perkawinannya yang menyebabkan pada lahirnya potensi penilaian kalau perkawinan yang dikerjakan tidak sah, " katanya.

Baca juga : Prediksi Burnley Vs Swansea 18 November 2017

Per Agustus 2017 Disdukcapil Kabupaten Tangerang menyebutkan kalau ada nyaris 50 % pasangan suami istri di kabupaten Tangerang yg tidak dicatatkan perkawinannya.

Bila ketetapan Pasal 488 RKUHP ini disahkan, jadi penafsiran “hidup dengan jadi suami istri diluar perkawinan yang sah” bisa mengarah grup rawan yang pemenuhan haknya untuk membuat keluarga tidak di akomodasi oleh negara. Orang-orang serta aparat dengan sewenang-wenang bisa menyebutkan perkawinan warga penganut keyakinan spesifik tidak sah serta menuntutnya dengan pidana.

" Pada dasarnya, persoalan kesusilaan begitu erat hubungannya dengan moral di orang-orang lengkap dengan tendensi serta subjektivitas orang-orang sebagian besar sekelilingnya, bagaimana juga hukum pidana mesti di buat berdasar pada azas legalitas yg tidak bisa dilanggar, " kata Maidina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Harian Indonesia Support By 99onlinebola Agen Judi Bola

Gambar tema oleh Jason Morrow. Diberdayakan oleh Blogger.